Langsung ke konten utama

Postingan

bersahabat dengan ikan

Waktu berjalan bagaikan bola yang menggelinding dari dataran tinggi ke yang lebih rendah. Tak ada satupun yang bisa menghentikan laju bola itu. Seperti waktu yang tak bisa dihentikan oleh manusia dan diputar kembali layaknya film Titanic yang diputar berulang-ulang di stasiun televisi. Sudah dua tahun, aku mengenal pahit manisnya berteman dengan dia. Dia begitu tampak menyebalkan bahkan sampai sekarang sifat itu terus saja melekat pada dirinya . Dulu, dia murid baru di tempat kami menimba ilmu . Dia masuk sebagai siswa baru di sekolah ini sejak kelas 2 SMA. Aku masih ingat saat itu, dari sudut kejauhan kulihat lelaki itu tampak berjalan ke arah kelas kami dengan sangat tertatih. Gontai langkahnya menggambarkan dia sangat tidak ikhlas pindah ke sekolah ini. Dia pemuda tampan . Banyak gadis-gadis tergila-gila akan ketampanan dan kemisteriusannya. Namun tak sedikit teman yang benci terhadapnya karena sikapnya yang terlalu dingin dan bahkan sulit untuk tersenyum. Hari-hari yang menyita s...

Tepat Tengah Malam

Kudapati diriku terbangun dari sebuah mimpi   Terperangah dalam sudut-sudut ruang yang gelap Kuperhatikan jam dinding berdentang  Tepat tengah malam aku tersadar Dari bayang-bayang kelam masa lalu  Yang dikemas secara runtut di dalam mimpi Membuatku segera ingin kembali ke kehidupan nyata Tidak lagi kembali dalam mimpi yang buruk Aku bersyukur disambut udara tengah malam Yang meniupkan kesejukkan malam itu   Tepat tengah malam Bukan saat yang mencekam bagi penelusur jalanan Ini hanya waktu dengan keheningan yang tersimpan Agar aku bisa memaknai betapa sucinya waktu Yang tergambar jelas di tengah malam

Perpisahan Kala Senja

 Ku kayuh sepeda setengah tua  Dimana tidak hanya ada bayangmu Suaramu telah mengisyaratkan perpisahan   Senyummu pertanda inilah akhir pertemuan kita Belum lama aku mengenal bahasa tubuhmu Namun senja itu memberiku jawaban terhadap teka-tekimu Kau janji kau akan kembali Membawa mawar yang kau tancapkan di saku kemejamu Lagi-lagi senja itu berkata inilah pertemuan terakhir Namun kau kembali meyakinkan keraguanku Lewat sebait puisi yang selalu kau ciptakan Sebelum aku menepuk pundakmu di setiap awal perjumpaan Kali ini kau sisipkan kata senja di judul puisimu   Di dalamnya kau berkata Perpisahan paling indah adalah saat senja Karena ketika kau berjalan menjauh dariku, bayangmu masih saja terlihat  Kau tempatkan dirimu sebagai lakon utama puisimu Kini kau menghilang bersama senja yang perlahan sirna berganti malam Lalu aku merasa telah berpisah denganmu Namun untungnya ini perpisa...

Api Kerinduan

Dalam hujan aku termenung Dingin yang bergulat menyelimuti tubuhku Kucuran air hujan yang mengalir di depan mata Cipratan air yang menusuk dinding kalbu Aku butuh setitik api yang menyala  Untuk sekedar menetralkan suhu tubuhku Hujan telah membuatku tersadar Akan kerinduanku pada seseoramg Senyum hangatnya telah membakar hujan Dia seperti nyala api yang kecil Goyah bila tertiup angin Namun terus mencoba membakar mata hatiku Api itu akan terus berkobar Beriringan dengan deras hujan dan desir angin Ketika api mulai padam Maka rinduku perlahan sirna tertelan hujan Tapi aku akan selalu menyalakan api kerinduan Di tengah hujan yang mengingatkanku padamu sang terkasih

biarkan hati itu membatu

kau mungkin tidak lagi bisa merobohkan hatiku hanya dengan sebuah genggaman semata, kini hatiku telah membatu, menjadi kokoh tanpa ada isi di dalamnya. bahkan ketika kau tampar hatiku dengan telapak kirimu, hati itu masih saja diam . tanpa mengucapkan sepatah kata pun. mungkin aku terlalu menyayangimu, hingga hantaman sekeras apapun tak kan mampu mencuil sedikit pun kulit hatiku. apalagi menjadikanku remuk berkeping-keping aku adalah bagian dari batu itu, kecil, keras dan tak berarti bagi siapapun. orang-orang selalu menendangku ketika mereka merasa putus asa. melempar sejauh-jauhnya ke tengah laut, sambil mengucapkan *berengsek ! hingga aku tenggelam bersama masalah mereka  itu lah aku, sebuah batu yang tidak diterima kehadirannya. dijadikan korban pelampiasan orang-orang tak bernaluri. batu yang selalu menjadi sandungan bagi mereka yang berjalan tanpa menggunakan alas kaki.

Orang Pinggiran

Terabaikan dan dipandang sebelah mata Bertahan demi kerasnya hidup yang menggoyahkan batinnya Setia jengkal kaki, dia persembahakn hidupnya Untuk keluarga yang menanti kedatangannya Semua orang menghina kesederhanaannya Dia hidup di jalanan Di sana lah tempat kehidupan menyambutnya Orang-orang yang mencaci hanya dianggap asap tebal Yang perlahan  hilang jika tertiup angin Tak ada yang bia menghalangi langkah tegapnya Dia akan terus berajalan bersama mimpi Tak pernah luntur oleh tetesan keringat perjuangannya Dia selalu yakin ada benih kebahagiaan di ujung jalanan Jika dia mau dengan perlahan mengambil langkah pasti Mencari cahaya yang akan menyinari kehidupannya Agar semua mata tertuju padanya Mengakui bahwa dia kuat oleh semangat hidup Meski rasa itu pahit di ujung lidah , namun berakhir manis bila tertelan Itulah kehidupan orang-orang pinggiran Tuhan dengan adil menilai setiap usaha manusia sekecil apapun.

rindu

aku sedang rindu merindukan kata rindu yang selalu aku ucapkan kepada orang yang ku sayang. kata itu kini bersembunyi entah kemana. hingga ketika aku mencarinya namun tak juga kutemukan. sampai aku kesulitan mengungkapkan kerinduanku akan banyak hal. aku merindukan semuanya. rindu saat aku mengucapkan aku mencintainya. rindu menelan senyum yang merekah di bibirnya. rindu bergurau dengan sahabat tercinta rindu kepada keluarga yang berlaku penuh kasih rindu menghabiskan sisa waktu di malam hari rindu menduduki bangku sekolah segalanya tentang rindu hampir tak bisa kuungkapkan namun ketika aku diberi kesempatan menuliskan semuanya maka yang pertama tertulis adalah kerinduanku atas segalanya yang membuat hidupku menjadi sangat bermakna. salam rindu,